Menjadi Musafir

ImageHerajeng Gustiayu di depan sebuah rumah kuno di Kampung Ampel

22 Desember 2011

Saya terbangun sebelum alarm berbunyi, terbangun oleh suara aktivitas keluarga induk semang, alarm berbunyi jam 7, Ajeng pun bangun, tapi kami cukup malas untuk memulai hari. Saya bikin sarapan: sandwich ganja, dan Ajeng sukak! Kami baru cabut dari kost jam 9 pagi, yaw tur jalan kaki dimulai! Salah satu itinerary dalam program Traveler in Residence adalah sesi jalan kaki bersama saya! Rute jalan kaki hari ini adalah Stasiun Gubeng Lama – Pasar Gembong – Klenteng Boen Bio – Hotel Ganefo – Kampung Ampel – dan berakhir di Museum Kesehatan. Saya tahu kami akan berjalan jauh, tapi saya sengaja tidak memberitahukan jarak ke Ajeng. Dengan semangat, kami berjalan menuju Stasiun Gubeng Lama, Ajeng sebelumnya sudah berkunjung ke Stasiun Gubeng tapi dia masuk lewat Stasiun Gubeng Baru. Bagi saya, Stasiun Gubeng Lama lebih indah daripada Stasiun Gubeng Baru karena bangunan kolonial yang terawat.

Lanjut berjalan kaki melewati THR menuju Jalan Gembong. Di depan sebuah ruko, kami menemukan minuman dalam kendi yang disediakan untuk para musafir, ini beberapa kali saya ditemukan di pemukiman penduduk, sebuah kearifan lokal dimana masyarakat Jawa menyediakan minuman dalam kendi untuk para musafir—termasuk pengemis, penjual keliling, pemulung, dan kebetulan kami hari ini adalah musafir, yeah! Saya pun langsung meminum air kendi yang rasanya sejuk, Ajeng agak ragu untuk minum, saya cukup memaksa dia untuk meminum air kendi itu, hehehe benar-benar menarik!

Kami pun tiba di Pasar Gembong yang beroperasional di sepanjang Jalan Gembong, menunjukkan spot-spot favorit saya dengan komposisi barang-barang bekas yang aduhai, beberapa penjual mengenali saya, karena saya cukup sering berkunjung ke gembong. Kami juga mampir ke stand-stand baju bekas, menemukan blouse yang aneh, blus seperti baju renang, hehehe cukup konyol. Lanjut ke langganan saya yang menjual kaset dan plat, tidak membeli apa-apa kami hanya berfoto-foto ria. Lanjut berjalan menuju Jalan Kapasan, mampir ke penjual Serabi Notosuman asli Solo, sekalian istirahat, harga serabi 2000 perak dan rasanya nikmat, sayang tidak panas, karena kalo panas pastilah tambah nikmat, santannya meleleh, sangat saya rekomendasikan!

Lanjut berjalan menelusuri Jalan Kapasan yang penuh dengan toko bahan kaos, mampir sebentar ke klinik kesehatan di sebuah rumah kolonial dengan pengunjung beretnis Tionghoa, yaw jalan kapasan masuk dalam kawasan Kampung Cina alias Pecinan Surabaya. Tujuan selanjutnya adalah Klenteng Boen Bio, sebuah klenteng Khonghucu di Jalan Kapasan 131, kami beruntung karena kami disambut dengan ramah oleh Pak Gunadi—karyawan klenteng. Beliau menjelaskan bahwa Khonghucu adalah nama orang yang memproduksi sebuah ajaran yang berkembang menjadi sebuah aliran kepercayaan, hahaha kami baru tahu kalo Khonghucu adalah nama orang. Di dalam klenteng ada patung dan lukisan Khonghucu, juga ada foto Gus Dur berukuran 20R. Gus Dur sangat dihormati karena dia lah Presiden Indonesia yang menjadikan Khonghucu sebagai aliran kepercayaan yang “diakui” oleh negara. Klenteng ini juga sangat ramah karena dipakai oleh masyarakat sebagai jalan pintas masuk ke Kampung Kapasan Dalam yang berada di belakang klenteng, setelah puas berfoto-foto, kami pamit ke Pak Gunadi dan lanjut berjalan kaki menuju Kampung Ampel.

Masih di Jalan Kapasari, kami melewati Hotel Ganefo, dengan semangat kami masuk ke lingkungan hotel dan wow hotel dengan bangunan kolonial yang terawat, Ajeng sempat mengambil foto bagian depan hotel dengan kamera pocketnya, tapi kemudian sang petugas kebersihan meminta kami untuk meminta ijin ke pihak hotel, kami melangkah masuk ke hotel, dan sang resepsionis melarang kami mengambil gambar tapi mempersilahkan kami untuk berkeliling hotel, yay! Kami terkagum dengan interior plus properti lawas yang digunakan pihak hotel, meskipun tampak seperti sanitarium, tapi hotel ini tetap memukau, ruang kamar double bed seharga 80.000 per malam tampak steril dengan 2 ranjang besi bersprei kain putih dan wastafel menggantung di dinding. Di beranda, jendela kayu super lebar sangat nyaman dengan bangku plus meja panjang menampilkan pemandangan pohon beringin, wah ini spot yang oke banget buat meeting! kami lanjut berkeliling ke bangunan di sayap kiri, banyak kamar dengan properti yang sama di bangunan utama. Lanjut ke bangunan sayap kanan—bangunan lebih baru tahun 70-an—bergaya art deco, bangunan 2 lantai dengan properti bergaya vintage juga. Hotel Ganefo adalah kejutan yang paling menarik di trip kali ini.

Saya memilih jalan masuk utama masjid Ampel, saya biasanya lewat Gang Ampel Suci, akhirnya saya bisa masuk ke situs Sunan Ampel! Saya sudah memakai kostum yang tepat; celana panjang dan baju lengan panjang, juga sudah bawa kerudung yang dipinjamkan oleh induk semang, Ajeng pun memakai jaket dan menjadikan sarung bali sebagai kerudung, kami pun siap masuk! Kami langsung menuju makam Sunan Ampel, seperti biasanya ramai peziarah, dengan santai kami mengamati mereka yang sedang berdoa di depan makam, selanjutnya kami masuk ke masjid yang merupakan peninggalan Sunan Ampel yang bernama lengkap Raden Ahmad Rahmatullah. Masjid yang indah dengan kerangka atap berjenjang, menarik!

Kami istirahat sejenak di dalam masjid, lalu kembali berjalan menelusuri Gang Ampel Suci yang terkenal dengan banyak stand yang menjual barang-barang Islami, oleh-oleh haji, parfum, dan makanan khas arab. Kami pun menyusuri gang-gang kecil di Kampung Arab, mengagumi rumah-rumah berlanggam kolonial yang masih terawat, dan kami menemukan perempuan Madura yang menjual bubur Madura, istirahat lagi sambil menikmati bubur Madura seharga 2500 rupiah super-enak dan tidak eneg meskipun sangat manis. Bubur Madura seperti bubur sumsum tapi banyak variasinya dan jauh lebih lezat. Kembali berjalan melewati Jalan Sasak yang menarik karena penuh dengan toko kitab, dan mampir ke Hotel Kemadjoean yang berdiri sejak tahun 1928, terletak di Jalan KH Mas Mansyur, kami masuk dan mengecek harga kamar, double bed 80.000, single bed 50.000, tapi kami tidak bisa mengecek kondisi kamar.

Lanjut menuju Jalan Panggung—jalan favorit saya, jalan yang penuh dengan rumah kolonial bertingkat dimana lantai dasar dipakai sebagai toko, lantai atas untuk tempat tinggal, dan di tengah jalan ada Pasar Pabean—pasar ikan. Pas kami lewat, Pasar Pabean sangat ramai karena berbagai hasil laut baru datang! Kepiting ikut berjalan kaki bersama kami menembus para buruh pasar. Sampai di ujung jalan panggung kami menuju jembatan merah dan mengintip Taman Jayengrono yang sedang dalam pembangunan. Berjalan kaki di pedestrian yang lebar dan nyaman sepanjang Jalan Rajawali, menyebrang di depan supermarket Giant, dan menelusuri jalan-jalan yang belum pernah saya lewati, saya cukup lelah berjalan, Ajeng apalagi, hahaha kami sudah berjalan kaki selama hampir 5 jam seharian ini. Akhirnya kami tiba di Jalan Indrapura, beristirahat di sebuah taman, hahaha kami kelelahan. Museum Kesehatan sudah didepan mata, kami tinggal menyebrang dan tiba disana.

Ini kedua kalinya saya berkunjung ke Museum Kesehatan, sebuah museum yang menarik, dikelola pemerintah, tiket masuk 1.500 rupiah, terdiri dari dua bagian: kesehatan ilmiah dan kesehatan budaya. Di bagian pertama kami menikmati dokumentasi surat-surat yang berkaitan dengan perkembangan dunia medis di Indonesia, lalu peralatan yang dipakai, barang-barang vintage! Bagian kedua adalah koleksi barang-barang yang berhubungan dengan pengobatan alternatif, termasuk benda klenik macam santet dan jaelangkung, gak heran masyarakat lokal menyebut museum kesehatan sebagai museum santet. Yaw list destinasi hari ini sudah tercapai semua, kami pun berjalan pulang menuju lampu merah Jalan Pahlawan.

Wah ternyata kami melihat dari kejauhan Gereja Kepanjen, saya pun mengajak Ajeng mampir karena sepertinya kami tidak sempat ikut misa Natal. Gereja Kepanjen bernama asli Gereja Kesalpa, disebut Kepanjen karena berada di Jalan Kepanjen. Gereja Kelsapa adalah gereja katolik beraliran kelahiran santa perawan Maria, didirikan tahun 1899, adalah nominator UNESCO Asia-Pasific Heritage Awards for Culture Heritage Conservation 2009. Gereja yang memukau dengan dua buah menara dengan salib dan tetanda mata angin menjadi puncaknya. kami mengintip ke dalam gereja, sedang ada rehersal misa malam natal. Lanjut berjalan ke belakang gereja dimana terdapat Gua Maria dengan stasi-stasi, dan di sana bertemu Pandu—teman UKM Katolik zaman kuliah. Ok, tur jalan kaki pun berakhir di Gereja Kepanjen, kami segera naik bis kota menuju c2o Library. Tur jalan kaki ini sekaligus rekor jalan kaki terlama saya dan Ajeng tentunya, kami berjalan kaki selama 6 jam berkeliling Surabaya!

Kami pun langsung beristirahat di c2o sambil menunggu Kat, jam 4 sore kami bertiga menuju Unair, Kat kuliah, saya dan Ajeng keliling kampus, sedang ada festival budaya hari ini. Mampir ke fotokopi Pink, menggandakan poster gigs Kendali Sendiri. lanjut ke GSG, melihat bazaar dan mencari tempat yang sepi. Tapi kayaknya sejak dulu di Unair Kampus B memang tidak ada spot yang sepi, crowded! Saya mengusulkan untuk ke perpustakaan berharap menemukan tempat baca yang tenang, dan pas nyampe lobby ternyata lebih rame daripada GSG, padahal ada tulisan: harap tenang. Yah kami bertahan di sana sampai jam 6 sore, Andhika mengabarkan dia sudah tiba di Auditorium Unair, yah itu berarti dia presentasi karya di Unair Kampus C, batal deh ketemu andhika, padahal dia juga pengen ketemu Phleg.

Kami ke GSG menghadiri malam puncak festival budaya, ada pertunjukkan wayang suket tapi pasti maleman, setelah menyaksikan pertunjukkan musik oleh BSO Musik FIB, kami memutuskan kembali ke kost saja. Saya mandi karena badan sangat bau, Ajeng memilih beristirahat sejenak, kemudian Putri menjemput Ajeng, Putri pun kaget kami berjalan kaki selama 6 jam. Janjian dengan Kungfu Ganja bertemu jam 6 pagi di penginapan, mereka batal naik kereta api karena kehabisan tiket, mereka naik travel. Sepertinya jam 9 malam saya sudah terlelap, hari ini puas sekali berjalan kaki!

Anitha Silvia

Kejutan Kembang Kuning

19 desember 2011

bangun jam 7 pagi dengan badan yang masih kurang fit, saya ke pasar gubeng beli brokoli, lettuce, timun jepang, dan telur, yah saya akan membuat makan siang brokoli keju dan pasta! janjian sama ayos dan ajeng ke makam kembang kuning siang ini dalam rangka program surabaya illustrated travel, kami janji kumpul di c2o pukul 11.30. saya sarapan teh manis dan roti tawar dengan susu kental carnation rasa keju yang jadi favorit saya bulan ini! lanjut nulis diary sambil merebus brokoli dan makaroni, lalu mandi dan cabut ke c2o! nyampe c2o jam 12, tapi ayos dan ajeng belum datang.

sambil menunggu mereka datang, saya menyiapkan makan siang : brokoli keju dan pasta krokot! yaw krokot tumbuh subur di halaman c2o, tinggal petik dan dicuci, siap disajikan bersama makaroni dan saus pasta instant! haha saya pun masih gak percaya kalo krokot itu enak dan sehat! ajeng dan ayos datang jam 1, kat juga datang membawa roti green tea, saya langsung sajikan makan siang! menu siang ini : brokoli keju, pasta krokot, dan roti green tea! ayos dengan terpaksa mencipipi heheh doi gak sukak sama masakan2 saya yang katanya aneh! ajeng terlihat menyukai masakan saya (semoga), andriew bergabung dengan kami, dan pastinya ikut makan, meskipun dia merengek minta makan siang sayur asem.

setelah cukup kenyang, saya, ajeng, dan ayos memulai tur makam kembang kuning! kami berjalan kaki melewati jalan khairil anwar dengan deretan para penjual bunga untuk nyekar, kemudian memasuki komplek makam kembang kuning. makam kembang kuning ada sejak zaman kolonial belanda, makam ini diperuntukkan untuk warga negara belanda (termasuk eropa), masih difungsikan sampai sekarang yang kemudian berkembang menjadi makam pemeluk agama kristen/katolik.

komplek makam kembang kuning adalah makam cukup rapih dan menyatu dengan jalan kembang kuning yang membelah komplek makam ini menjadi 2 bagian, makam dan jalan hanya dibatasi oleh trotoar, makam terkesan meluber sampai batas trotoar, tapi tetap rapih jadi sangat nyaman dipandang! jalan kembang kuning sepanjang hari cukup padat dilalui oleh kendaraan bermotor, saya pun akan suka kalo setiap hari melewati jalan ini. para pembersih makam yang kebanyakan adalah ibu2, memanggil2 kami menanyakan akan nyekar dimana, kami hanya menggelengkan kepala.

kami menuju makam g.j. dykerman, walikota surabaya tahun 1920-1929, beliau adalah walikota ke-2 surabaya, makam berada di pusat komplek makam kembang kuning, berupa monumen setinggi 2 meter dengan patung malaikat diatas monumen. kami lanjut berjalan ke arah ereveld, ayos sebelumnya cerita bahwa ada ereveld di makam kembang kuning. wow saya baru tahu ada pemakaman tentara belanda disini, dan selalu syahdu melihat deretan salib bercat putih dengan tulisan nama, tanggal lahir, dan tanggal wafat. kami hanya melihat dari luar pagar, untuk masuk ke ereveld harus dengan ijin dari konsulat belanda. jadi pemerintah belanda menyewa tanah dan pegawai untuk komplek pemakaman tersebut.

kami memilih secara random jalan setapak masuk ke makam, saya ingin menunjukkan ke ayos dan ajeng makam ordo santa ursula, dan dengan mudah kami menemukan makam tersebut, makam ini adalah kumpulan makam para suster dan pastor dari ordo santa ursula sejak kedatangan pertama kali mereka ke jawa sampai sekarang. kami lanjut berkeliling menemukan beberapa makam warga belanda yang makin terhimpit dengan makam2 yang baru. seorang pembersih makam menyapa kami, menanyakan kami mencari blok apa, ayos menjelaskan bahwa mahasiswa ITS yang hanya berkunjung untuk melihat-lihat makam. sang pembersih makam yang bernama taufikrohman–sebenernya saya lupa namanya, ini saya asal menuliskan nama, pembersih makam yang berambut putih dengan ramah memberikan informasi mengenai makam kembang kuning.

info dari taufikrohman, dulu ada gudang belung (tulang) karena banyak makam belanda yang dipindahkan tengkoraknya dan disimpang di gudang belung, api gudang itu roboh dan semua tengkorak yang tersimpang ikut hancur, yah hampir semua makam belanda sudah diambil tengkoraknya dan sekaligus harta benda yang ikut dikuburkan, kami menyaksikan banyak lubang di makam. info selanjutnya adalah komplek makam ini juga dihuni secara illegal oleh lumayan banyak orang yang beberapa diantaranya diduga sebagai buronan polisi, hehhe kami cukup jiper juga karena sejak tadi melewati orang2 yang menumpang hidup di makam. info lainnya adalah kisah2 tahayul di makam ini, sambil mengajak kami untuk memanjat atap makam, beliau menunjukkan posisi makam dengan patung pilot, patung tersebut suka berubah posisi, beliau juga memberitahukan ada makam seorang nyai belanda yang sering dikunjungi orang2 untuk dimintai petunjuk nomor togel. sambil menikmati pemandangan komplek makam yang indah nan janggal dari atap makam—hampir seluruh makam punya atap dari beton, jadi kami tidak takut atap akan roboh. meskipun indah tapi siapa juga yang nyaman tinggal di pemakaman!

selanjutnya kami menuju blok makam lainnya, menuju makam pilot, seorang pembersih makam mengantarkan kami kesana. dan wah makam belanda dengan patung pilot di atas makam adalah komposisi yang cukup aneh, tidak terdapat keterangan siapa yang dimakam, mungkin nisannya hilang dicuri. kami lanjut berjalan dan waw saya menemukan makam istri dari dr. soetomo, tepat disebelah makam pilot. istri dr. soetomo yang bernama everdina soetomo burring, seorang perawat berkewarganegaraan belanda, everdina wafat tanggal 19 februari 1934. saya pernah membaca biografi dr. soetomo, dan dia memang menikahi seorang perawat yang sangat semangat menolong para korban perang, everdina dengan penuh kasih setia menemani dr. soetomo mengobati rakyat kecil di pedalaman indonesia, sempat juga pernikahan mereka menjadi pergunjingan di kalangan nasionalis karena everdina adalah orang belanda sementara dr. soetomo adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan indonesia. saya kagum dengan dr. soetomo karena dia adalah pejuang yang terjun ke pedalaman, menolong rakyat kecil yang tidak bisa menjangkau fasilitas kesehatan di kota besar.

kami terus berjalan menjelajahi makam terluas di asia tenggara, luasnya mencapai 15 hektar, beruntung cuaca siang itu mendung, jadi kami cukup nyaman berlama2 di makam. banyak sekali menemukan makam2 era tahun 70-an dengan arsitektur (dekorasi) yang cukup unik, ada relief sepeda motor dan yesus bangkit dari kubur, instalasi tangga, dan hiasan “merry christmas” ditempel di nisan. akhirnya kami menemukan makam belanda dengan nisan sangat besar menjulang keatas penuh tulisan dengan tipografi bergaya art-deco yang memukau, yah kami nobatkan ini adalah nisan terbaik di komplek makam ini, di nisan tertera tahun 1925 sepertinya seorang pejabat publik hindia belanda dikuburkan disana. kami tergoda untuk lanjut mendaki ke sebuah makam dengan patung kepala dan salib bercat merah. tanah di komplek makam ini berbukit2 jadi suatu pemandangan yang menarik! dengan lincah kami menginjak sekaligus melompat dari makam satu ke makam lainnya rasanya seperti park hour, akhirnya kami sampai di puncak bukit, dan wow lagi2 pemandangan yang memukau! makam dengan patung kepala dan salib merah memiliki nisan dengan huruf mandarin, ayos menebak dia seorang taipan, saya menebak dia seorang aktivis tionghoa. cukup puas kami menikmati atmosfer makam dari puncak bukit, kami lanjut menyusuri makam dan berhenti di suatu titik melihat anak2 bermain di atas atap makam, ayos pun naik ke atap makam dan mendokumentasikan anak2 dengan sukaria melompat2 di atap2 makam, hahha makam pun bisa jadi tempat bermain yang menyenangkan!

sekitar 3 jam kami menikmati makam kembang kuning dan menemukan banyak kejutan, wah ini memang tur yang menarik meskipun kami cukup merasa gatal2 karena banyak nyamuk menghisap darah kami. kami mampir ke kantor pemakaman kembang kuning, melihat peta lokasi makam, lanjut ke warung, ayos dan ajeng membeli es degan lalu kami berjalan pulang ke c2o dengan hati puas. tiba c2o kami minum coklat panas sambil mengobrol mengenai kekaguman kami atas makam kembang kuning, tapi kami belum menyaksikan fenomena makam kembang kuning saat malam hari, banyak waria menjual jasa seks disana, dan praktek dilakukan diatas makam! (tinta)

House of Sampoerna

 

Bus Surabaya Heritage Trip

House of Sampoerna, 6-7 Desember 2011

Bangunan di depan saya ini membuat saya kagum saat pertama kali melihatnya. Begitu memasuki pelataran depan, suasana asri dengan tanaman hijau dan pepohonan rendah langsung menyambut kami. Sekumpulan bangunan lama namun terawat itu memilliki langgam arsitektur bergaya art deco (mudah-mudahan otak arsitek saya masih berfungsi dengan benar) dan sempat berfungsi sebagai rumah. Kini bangunan ini difungsikan sebagai museum yang berisikan dokumentasi sejarah keluarga dan bisnis perusahaan rokok besar Sampoerna, House of Sampoerna. “Keren juga nih museum,” pikir saya.

Saat ini sudah dua kali saya datang ke House of Sampoerna (HoS) dan masih tertarik untuk mengunjungi museum unik ini di lain waktu. Kunjungan pertama bersama Putri hanya berselang sehari sebelumnya, namun saat itu kami hanya melihat-lihat bagian dalam museum dan pameran foto yang sering diadakan di paviliun barat. Uniknya, di dalam museum ini juga terdapat pabrik yang lengkap dengan pekerja-pekerja yang sedang melinting dan mengemas rokok dengan kecepatan yang luar biasa, nyaris seperti mesin. Rupanya, dulu pendiri Sampoerna memiliki konsep untuk mendekatkan rumah dan pabrik di satu tempat, hal ini bertujuan agar mereka dapat dengan mudah mengontrol pabriknya. Hebat ya!

“Put, mereka ini aktor apa beneran pekerjanya sih?” tanya saya tercengang saat menjejakkan kaki di lantai dua museum. Terlihat beberapa pekerja wanita yang sedang melinting rokok dengan cekatan, kami hanya dipisahkan oleh sebuah dinding kaca di sebelah kiri saya. “Kayanya beneran deh, Mbak,” jawab Putri sopan, tapi saya yakin dia heran dengan pertanyaan saya yang agak aneh itu. Beberapa langkah ke depan, saya kembali dikejutkan oleh pemandangan ratusan pekerja yang berada satu lantai bawah kami. Mezanin dengan batas dinding kaca lagi-lagi memisahkan area para pengunjung dan pekerja-pekerja tersebut. Saya meraih kamera saya, tapi sebelum saya sempat menekan tombol, seorang petugas wanita langsung mencegah saya mengambil gambar. Hehe, saya lupa di lantai dua yang sekaligus tempat belanja buah tangan itu tidak diperbolehkan mengambil foto maupun video tanpa ijin. Maaf ya, Mbak.. Saking kagumnya, saya jadi lupa peraturannya deh..

Sebenarnya hari itu jadwal kami adalah ikut tur yang rutin diadakan oleh HoS, tapi kami telat datang sehingga baru akan ikut untuk jadwal besoknya. Menariknya, tur ini gratis! Kita bisa mendaftarkan diri sesuai dengan jadwal yang kita inginkan, biasanya tur akan dimulai pada pukul 09.00, 13.00, dan 15.00 dengan rute yang berbeda-beda. Special Theme untuk bulan Desember ini adalah mengunjungi pabrik-pabrik tua di Surabaya, antara lain Pabrik Limun (Sirop), Pabrik Kecap Jeruk Pecel, dan Pabrik Misua. Dalam tur ini kita akan diajak berkeliling dengan bus khusus berwarna merah menyala dan luar biasa keren, menurut saya. Bus ini mengingatkan saya akan bus pariwisata di Penang yang juga secara cuma-cuma mengantarkan turis berkeliling kota tua tersebut. Kualitasnya sudah cukup nginternasional deh, pokoknya.

Very recommended! []

Herajeng Gustiayu

Busy Sunday

Tugu Pahlawan, Minggu pagi 11 Desember 2011

“Eh, aku mau itu, Mbak!” seru Putri sambil menunjuk dorongan pedagang kaki lima berisi potongan mangga dingin dan segar. Saat itu kami masih berada di atas sepeda motor Putri yang bernama Bonita, sedang berusaha mencari tempat parkir yang dekat dengan pintu masuk Monumen Tugu Pahlawan. Cuaca Minggu pagi itu masih tampak bersahabat dengan awan mendung menggantung. Namun sekitaran Tugu Pahlawan telah penuh dengan berbagai macam pedagang kaki lima dan pengunjung yang sedang berwisata ke tempat ini.

Mata saya sekilas menangkap ada dorongan pedagang bertuliskan kreco di samping pedagang mangga. Aha! Baru kemarin saya membaca tentang cemilan kaki lima berbahan baku sejenis bekicot atau siput yang dibumbui bernama Kreco. Saya pun langsung berniat untuk mencoba makanan yang terdengar unik ini sehabis mengunjungi Tugu Pahlawan.

“Aku belum pernah masuk ke dalem (Tugu Pahlawan) lho,” jelas Putri yang sudah tinggal selama 7 tahun di Surabaya. Hmm, mungkin sama seperti saya yang belum pernah naik ke puncak Gedung Sate di Bandung, padahal saya sempat tinggal beberapa tahun di Kota Bunga tersebut.

Setelah membayar tiket masuk dan masuk ke dalam, kami pun berspekulasi tentang pilar-pilar di belakang patung Soekarno-Hatta. Putri bertanya-tanya apakah pilar-pilar yang bertuliskan seruan-seruan  “Merdeka ataoe mati!” dan “Allied forces go away!” itu asli apa bukan. (Jawaban untuk saat ini: pilar-pilar itu sepertinya cuma replika dari pilar gedung Raad van Justitie yang digunakan sebagai markas tentara Jepang yang dibakar dan dihancurkan oleh pejuang Surabaya pada pertempuran 10 November dan kini lokasinya menjadi area Tugu Pahlawan, CMIIW)

Memasuki Museum 10 November, saya seakan-akan diingatkan kembali tentang pelajaran sejarah saat SD. Sejarah perebutan dan pertahanan kemerdekaan Indonesia di otak saya yang terbolak-balik terasa disegarkan kembali. Beginilah kalau belajar sejarah hanya menghafal dan tidak dipahami, gampang lupanya!

Saat menatap patung pejuang kemerdekaan yang mengacungkan senjata dan tampak berseru ke arah bendera merah putih di bagian tengah museum, saya tiba-tiba merasa malu sendiri. Mereka sudah susah-susah merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari para penjajah, sampai saat ini saya sudah berbuat apa saja ya untuk bangsa sendiri? Menularkan virus traveling itu termasuk apa ngga ya? Hehe..

Setelah puas berkeliling dan membaca sejarah pertempuran 10 November serta sejarah pendirian bangunan museum ini, kami pun hunting potongan mangga dan kreco. Mengingat cuaca di luar yang semakin terik, rupanya banyak pedagang yang telah membereskan jualannya dan pulang, termasuk pedagang mangga dan kreco. Kami pun berdesah kecewa … sampai tiba-tiba Putri berseru, “Mbak, itu kreco juga!” sambil menunjuk ibu-ibu yang mendorong gerobak bertulisan kreco Rp 5000 / sate kul Rp 1000.

“Ayo hadang dia Put!” seru saya berkelakar. Putri tertawa dan mengejar si ibu-ibu. Ah ternyata kreco-nya sudah habis, tinggal sate kul. Bahan dasarnya sih sama, sejenis keong-keongan, bedanya kalau kreco pakai kuah, kalau sate kul ya keong bumbu yang disate, demikian penjelasan si ibu-ibu itu. Kami langsung membeli lima tusuk.

Begitu kunyahan pertama tertelan, kami hanya terdiam. Dagingnya terasa agak alot, mirip dengan tektur kerang, bumbu rempahnya terasa kuat di lidah dengan sedikit rasa pahit. “Hmm, rasanya aneh,” Putri pun memutuskan untuk menyimpan sate kul-nya untuk lain kesempatan. Saya habis satu tusuk dan tidak tertarik untuk melanjutkan tusuk kedua.

“Kita sisain yuk buat anak-anak C2O,” saran saya jenius. Putri hanya tertawa lepas, entah apa yang ada di pikirannya saat itu.

Stadion Tambaksari, sore 11 Desember 2011

Jadikan perjalananmu sebagai tantangan.

Salah satu prinsip saya sebagai traveler tersebut sepertinya benar-benar terpakai untuk jadwal hari Minggu kali ini (11/12). Sampai sekarang saya masih suka heran kenapa saya kok mau-maunya diajakin nonton bola di Stadion Gelora 10 November, padahal kalau sedang iseng ikut nonton bola di tivi saja saya lebih sering ketiduran. Lapangan bola yang hijau dan white noise sorak sorai supporter seakan-akan sengaja meninabobokan saya. Mau pemainnya seganteng apa pun, rasanya tidak berpengaruh bagi saya. Ah, pokoknya kalau soal bola, saya benar-benar buta deh!

“Kamu harus ngeliat bonek, Mbak!” demikian perintah Ayos untuk program perjalanan paling serem dan ciamik se-Indonesia ini, Traveler in Residence (TiR). Tadinya sih saya biasa saja mendengarnya, tapi rada jiper juga saat Simbah mengatakan “Siap-siap aja, bonek itu terkenal beringas,” ketika bertugas mengantarkan saya menonton pertandingan Liga Premier Persebaya vs. Semen Padang FC.

Bonek itu singkatan dari bondo nekat, yang arti bahasa Surabaya-nya: Modal Nekad,” jelas Putri saat paginya mengantar saya berkeliling Tugu Pahlawan dan kawasan Pecinan. Oke. Tidak cukup membantu menenangkan rasa deg-deg-an saya.

Bagi yang buta bola seperti saya, begini penjelasan singkatnya: Bonek itu adalah sebutan dari suporter Persebaya, tim sepakbola Surabaya. Mengutip penjelasan Simbah, aliansi Persebaya adalah Persib, sedangkan musuhnya adalah Persija dan Arema. Warna tim Persebaya dominan hijau. Hmm, apa lagi ya… sementara itu dulu deh, kapasitas otak saya memang terbatas kalau soal bola, hehe..

Tapi sekarang saatnya menyingkirkan rasa deg-deg-an, karena tiket seharga Rp 50 ribu itu sudah ada di tangan saya. Gelora 10 November terlihat begitu ramai dan meriah dengan warna hijau ketika jam nyaris menunjukkan pukul tujuh sore, saat pertandingan dimulai.

Antrian bonek-bonek berkaus dan berselendang hijau bertuliskan Viking-Sebaya-Sehidup-Semati-atau-apalah-itu tampak mengular di luar gerbang stadion. Lucunya, lama kelamaan saya kok malah ketularan rasa semangat para bonek ini. Seulas senyum pun mulai terungkit di wajah saya, dan semakin berkembang saat menyadari bahwa ini pertama kalinya saya nonton bola di stadion. Namun senyum saya meredup tatkala saya merasakan tetesan air di kepala saya, membuat saya otomatis mendongak menatap langit malam. Semoga tidak hujan, batin saya dalam hati.

Tiket disobek. Masuk gerbang. Naik tangga. Cari posisi. Sorak sorai bergemuruh. Pertandingan dibuka. Hujan deras disertai angin kencang pun tiba. Dem, umpat saya dalam hati.

Hymne Persebaya terdengar dinyanyikan secara bersemangat di tengah hujan angin yang semakin deras. “Kurang nasionalis apa lagi coba?!” seru Simbah sambil tertawa-tawa. Saya membalas tertawa sambil mengamati lapangan hijau yang mulai tampak becek oleh hujan. Seorang bapak di depan saya tampak menaungi kepala anaknya dengan jaket biru yang dibawanya. Para bonek di sekeliling saya terlihat tetap bersemangat dalam euforia walaupun sekujur tubuh dan pakaian mereka basah kuyup oleh hujan. Jaket saya pun mulai terasa basah oleh hujan. Tas saya juga mulai terasa berat oleh rembesan air hujan. Oh, hujan… hujan… Nakal sekali dirimu. Saya yang saat itu juga telah basah kuyub dari atas sampai bawah hanya menatap hampa ke arah lapangan, mencoba berkonsentrasi, dan sesekali ikut berseru saat bola nyaris masuk ke gawang lawan. Duh, kaga ngerti ah ane..

Sayangnya level semangat saya tidak sama dengan para bonek ini. Begitu babak pertama berakhir dengan kedudukan sementara 0-1 antara Persebaya terhadap Semen Padang FC, saya menyerah. Saya memilih untuk tidak melanjutkan menonton karena tidak tahan oleh tiupan angin kencang disertai terpaan hujan yang cukup membuat menggigil. Cemen sekali ya saya, huahaha..

Pokoknya jadwal TiR hari Minggu ini benar-benar sangat berkesan bagi saya. Tantangan banget lah pokoknya. Patut dicoba kalau lagi bertandang ke Surabaya! Terimakasih juga buat Simbah yang telah mengantarkan dan mengamankan saya saat menonton pertandingan bola kemarin. Dari postur aja udah keliatan serem sih, jadi kalo ada yang mau macem-macem juga pasti mikir dua kali nih kayaknya, hehe..

Dan yang paling penting, ternyata bonek tidak semenakutkan seperti anggapan saya sebelumnya. Beberapa kali saya ikut tertawa mendengar banyolan beberapa orang bonek dengan pedagang yang hilir mudik di tengah hujan. Intinya sih, bonek sebenarnya cuma supporter biasa yang fanatik terhadap Persebaya, selama fanatisme tidak merugikan sekitar ya saya mah tidak ada masalah, hehe.. Oh ya, saran saya: bawalah ponco saat menonton bola di musim hujan. Sedia ponco sebelum hujan. Yeah! []

Herajeng Gustiayu

Tentang Tilang dan Perpustakaan

C2O library, 7 Desember 2011

Wah, sejuta terimakasih saya ucapkan untuk Ayos, salah satu pencetus program Traveler in Residence (TiR) yang sedang saya ikuti saat ini. Ini adalah tilang pertama saya saat berada di Surabaya. Ngga tanggung-tanggung, dua sekaligus! Satu karena dianggap melanggar lampur merah, yang sampai saat ini tidak diterima oleh Ayos karena dia yakin lampu jalan masih kuning saat motornya melintas.

“Masih kuning, Pak!” teriak Ayos di depan wajah Pak Polisi.

“Sudah merah!” sanggah Pak Polisi ngga kalah sadis.

“Kuning!”

“Merah!!!”

“Kuning!! Saya tahu di jalan ini banyak polisi, ngga mungkin saya nerobos lampu merah! Kalau saya ditilang gara-gara ngga punya spion kanan, saya bisa terima, Pak!”

“Oh, kamu ngga punya spion juga??” Pak Polisi lantas melirik motor Ayos dengan tatapan lapar. “Oke, kalau begitu kamu saya tilang dua kali!”

Hm. Argumen Ayos tampaknya agak bersifat bunuh diri ya. Kebo, motor Ayos yang berwarna hitam ini memang cacat fisik tapi kesetiaannya tak dapat diragukan, ia kerap menemani Ayos di kala susah dan senang. Termasuk menjelang sidang tilang tanggal 16 besok. Well, good luck for you both…

Setelah mengurus surat tilang sambil agak menggerutu, kami pun segera bergegas ke c2o library di Jalan Dr. Cipto 20, yang juga turut bekerjasama dengan Hifatlobrain dalam menggarap program TiR. c2o library ini sendiri adalah sebuah perpustakaan komunitas yang sangat menarik bagi saya, terutama karena saya suka buku, hobi yang sempat agak terabaikan karena akhir-akhir ini saya lebih akrab dengan internet. Kalau di Surabaya ada c2o, Bandung punya Reading Lights, Jakarta kira-kira punya perpustakaan sejenis ini tidak ya?

Di pojok belakang perpustakaan c2o ini saya menemukan buku The Graveyard Book karangan Neil Gaiman yang saya cari-cari. Koleksi buku Roald Dahl juga  cukup lengkap. Ya, saya memang penggemar buku anak-anak, terutama yang alur ceritanya kreatif dan tidak lazim.

Nyaman sekali berada di sini. Suasananya tenang, berada di dalam perumahan yang jarang dilewati kendaraan, banyak pepohonan, enak untuk menghabiskan waktu sambil berkonsentrasi membaca. Tempat favorit saya untuk membaca adalah duduk di teras luar, asal cuaca sedang cerah. Mbak Yuli yang setia menjaga perpustakaan ini  juga siap untuk ditanya-tanya tentang buku dan film yang tersedia di dalam c2o library. Kalau tiba-tiba haus, c2o menyediakan beragam minuman dingin atau seduhan teh dengan berbagai rasa.

Yang bikin saya penasaran sih, kata Mbak Yuli, di depan c2o ini sering lewat penjual Semanggi. Semanggi? Yap, makanan khas Surabaya yang berbahan dasar daun semanggi, jelas Ayos kepada saya. Bentuknya seperti apa juga saya belum tahu. Baiklah, Semanggi resmi saya catat sebagai salah satu kuliner yang harus saya coba saat berada di Surabaya. []

Herajeng Gustiayu

Heroes Monument

Seorang ibu tampak sibuk mengarahkan anak-anaknya untuk bergaya dan berfoto bersama di depan sebuah meriam tua. Perempuan paruh baya ini tampak kerepotan memegang handphone sekaligus mengatur si bungsu yang nampak enggan berpose manis seperti kakaknya yang lain. Mereka duduk di sebuah etalase dari kayu, tempat beberapa senjata api dipamerkan, di mana terpampang sebuah tulisan, “Dilarang Duduk Di sini”. Ah, tapi tampaknya larangan itu tak digubris, sang ibu masih berusaha memasukkan wajah si kecil dalam satu frame layar handphone mungil itu.

“Liburan ke museum bersama keluarga ternyata asik juga ya,” celetuk saya pada Mbak Ajeng. Saya sendiri sudah sangat lama tidak bepergian full team family, hmm terakhir mungkin di Borobudur pada saat saya masih kelas 4 atau 5 SD. Kami melakukan road trip panjang dari Jember, Jawa Timur hingga Metro, Sumatra Selatan. Setelah itu, saya maupun kakak saya tumbuh dewasa (secara usia), merantau menjauhi kota kelahiran ketika mengambil jenjang studi perguruan tinggi. Masing-masing lebih suka bepergian sendiri bersama teman-teman sebayanya.

Selama lebih dari 6 tahun berada di Surabaya, ini adalah kunjungan pertama saya ke Monumen Tugu Pahlawan. Kalau tidak ada program Traveler in Residence ini bisa jadi selamanya saya tidak pernah mampir ke sini. Hahaha…

“Duh 10 November itu ada apa ya dulu?” tanya Mbak Ajeng ketika melihat berbagai foto-foto jaman dulu.

“Itu Hari Pahlawan, Mbak…,” jawaban saya jelas tidak membantu.

“Kalau jaman sekolah, pelajaran Sejarah cuma dihapal ya, Put, biar dapet nilai bagus,” ujar Mbak Ajeng. Kami berdua lalu tertawa mempermalukan diri-sendiri.

“Put, ayo manjat ke atas! Biar dapet view luas, pasti bagus kalau digambar!” ajak Mbak Ajeng begitu keluar dari monumen. Saya dan Mbak Ajeng lalu mengendap-endap naik ke atas taman. Kami tidak tahu apakah ini diperbolehkan atau tidak. Tak apalah, kalau diteriaki oleh petugas, palingan ya kami harus segera turun dan ngacir saja. Yang jelas dari arah ini, area Tugu Pahlawan, atau yang dulu disebut dengan Aloon-Aloon Straat ini menjadi tampak lebih lebar dengan berbagai pemandangan gedung-gedung kolonial terekam dalam satu frame. Favorit saya, tentu saja Gedung Kantor Gubernur yang memiliki menara unik berbentuk kubus.

Setiap Minggu pagi Tugu Pahlawan diramaikan oleh pasar kaget, kami biasa menyebutnya dengan TP5. Berbagai pernak-pernik, dari yang hidup hingga mati, pakaian bekas pakai atau baru, permen kapas, balon, mainan, segala bentuk boneka ditambah lapangan hijau nan luas untuk area bermain tersedia satu paket di sini. TP5 memang semacam hari dan tempat yang sempurna untuk anak-anak kecil.

Di Kebun Binatang

Kami mengunjungi Kebun Binatang Surabaya sambil membawa Ajeng ikut serta. “Aku sudah pernah masuk KBS sama sepupuku tahun 2008,” kata Ajeng. Sore sudah hampir lewat ketika kami baru saja tiba. Suasana begitu sepi karena bukan hari libur.

Kami baru sadar bahwa kebun binatang yang berdiri pada tahun 1916 dengan nama “Soerabaiasche Planten-en Dierentuin” (Kebun Botani dan Binatang Surabaya) ini memiliki logo Komodo. Bagi kami ini adalah sebuah bentuk dari ketidaksesuaian yang lucu. Bagaimana mungkin KBS memiliki logo bergambar hewan yang bukan endemik Surabaya.

Saya punya usul kalo logo KBS itu diganti gambar bebek saja. Sedikit mirip logo Bebek Slamet yang siluet atau boleh juga yang sayapnya berwarna-warni seperti maskot warung sego bebek Purnama. Kenapa bebek? Karena sego bebek Suroboyo iku maknyus! Gak onok tandingane!

“Kenapa logonya Komodo sih pak?” tanya saya pada seorang petugas keamanan di pintu keluar.

“Karena hanya KBS yang breedingnya berhasil. Awalnya hanya delapan Komodo, tapi di sini beranak pinak sampai 44 ekor. Satu-satunya yang berhasil di Indonesia,” kata pak tersebut. Namanya saya nggak tahu, jadi kita sebut saja dengan sebutan “tersebut”.

Saya, Putri, dan Ajeng mengakui bahwa KBS adalah aset berharga Surabaya. The last green frontier. Jadi kalau ada isu KBS akan digusur diganti mal, maka –setidaknya– itu akan membuat kami bertiga sedih. Saya dan Putri yang orang Surabaya sedih. Ajeng yang bukan orang Surabaya juga sedih.

Oke sekian. Segala foto yang nginstagram di atas ini milik Dwi Putri Ratnasari.

Behind The Residency

When traveling meets drawing.

Setiap media dokumentasi perjalanan selalu memiliki cara penyampaian yang unik bagi peminatnya. Entah berupa tulisan, foto, video ataupun ilustrasi. Tak ada batasan untuk terus mengembangkan setiap bentuk dokumentasi tersebut, dan hanya kreativitas yang bisa menjadi penawar akan kejenuhan dalam proses pembuatannya. Hifatlobrain Travel Institute bersama c2o Library berusaha mengeksekusi opsi terakhir; mengawinkan traveling dengan drawing. Proyek ini bukanlah hal pertama yang pernah dilakukan di dunia. Tengok saja karya menakjubkan dari buku ciamik Tokyo By Foot, Monocle Travel Guide dan They Draw and Travel, di mana impresi sebuah destinasi bisa digoreskan secara liar dalam media ilustrasi.

Kami mengundang seorang traveler untuk tinggal di Surabaya selama satu bulan dan bersama-sama mengerjakan proyek kreatif ini. Setelah melewati berbagai audisi dan pertimbangan, pilihan jatuh pada seorang gadis kalem berparas ayu dari Jakarta, Herajeng Gustiayu. Sarjana Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini hampir tamat melancong negara-negara Asia Tenggara. Selain memiliki blog yang begitu informatif di backpacker-notes.blogspot.com, Mbak Ajeng, panggilan akrabnya, ternyata juga gemar menggambar ilustrasi watercolor. Sebuah perpaduan sempurna untuk ambil bagian dalam proyek yang kami sebut Traveler in Residence ini.

Traveler in Residence akan menghasilkan satu seri ilustrasi cat air tentang Surabaya, yang akan dikembangkan menjadi sebuah travel guide dengan konten berupa travel essential seperti how to get there, where to stay, where to eat. Namun kami juga akan memadukan insight berupa in-depth-article yang tak kalah menarik. Seperti gerakan kreatif anak muda, produk fashion lokal, dan pertumbuhan eco-tourism di Surabaya. Semoga saja di bulan penuh hujan ini pun ada jadwal pertandingan sepak bola di Stadion Tambaksari. Besar keinginan kami untuk dapat mengajak Mbak Ajeng menyaksikan dan merasakan keriuhan supporter bajul ijo yang kerap disebut bonek.

Terhitung tanggal 5 Desember 2011 kemarin, Mbak Ajeng telah menginjakkan kaki di Surabaya. 30 hari mungkin waktu yang singkat untuk menghabiskan Surabaya secara keseluruhan, tapi kami tetap berharap proyek ini dapat diselesaikan dengan maksimal. Lebih lagi, Traveler in Residence ini sebenarnya kami harapkan menjadi virus bagi para pejalan lain agar tak lelah berinovasi dalam mendokumentasikan perjalanannya.

Oke, doakan program bulan ini beserta pameran pada Maret 2012 berjalan dengan lancar yes! 🙂

Dwi Putri Ratnasari

Kepala Program Traveler In Residence

Monkasel

Seharian saya mengantar Ajeng mengunjungi Monkasel, monumen kapal selam yang terletak di sisi Kalimas itu. Tidak banyak perubahan yang terjadi sejak kunjungan pertama saya hampir 15 tahun yang lalu. Kecuali seorang wanita berdandan menor dan ketus yang bertugas merobek karcis di pintu masuk monumen.

“Mbak (Pasoepati) ini kapal selam pertama milik Indonesia kan?” tanya saya.

“Bukan!” titik. Lantas dia merobek ujung karcis saya. Sadis.

Ajeng hanya tertawa. Dan tawanya semakin keras manakala ia tahu bahwa Pasoepati bukanlah kapal selam pertama yang dimiliki RI. Bersama sepuluh kapal selam Rusia lainnya, Pasoepati adalah generasi kedua yang datang pada tahun 1952.

Setelah Monkasel, Ajeng saya ajak melewati gedung kesenian Cak Durasim yang sepi, melintas Pasar Genteng yang tumben tidak macet, lalu menuju Perpustakaan C2O untuk baca buku. Sorenya kami menuju kos Lukki untuk memasang beberapa program tambahan pada laptop Ajeng yang baru saja diformat. “Kemarin laptopnya abis dipake bapakku, jadi software di dalamnya hilang semua,” kata Ajeng.

Tapi malam kemarin Ajeng tidak kelaparan kawan. Karena dia saya ajak makan bebek Purnama yang cabangnya di mana-mana itu.