MSW x TiR

Manic Street Walker Keputran 2

Manic Street Walker Keputran

Komunitas pejalan urban, Manic Street Walker, yang dikomandoi Anitha Silvia kemarin mengadakan acara jalan-jalan malam di sekitar Kampung Keputran. Kelompok kecil berjumlah enam orang ini berjalan menyusuri tepi jalan protokol Urip Sumoharjo, melintasi Hotel Olympic, menyusuri lorong pasar sayur yang mulai hidup di malam hari, lalu mengunjungi Taman Kalimas, berbelanja di toko roti tua, dan mengaso di tugu Polisi Istimewa. Saat blusukan di Kampung Keputran, para anggota MSW kali ini menemukan berbagai mural kampung yang berbunyi lucu dan unik. Khas kreatifitas warga.

Foto-foto perjalanan mereka bisa dilihat di sini.

Hanyut di Keputran

Foto oleh Anitha Silvia

Teks dan Foto oleh Anitha Silvia

24 Januari 2013

c2o library kedatangan dua Nippon, Keisuke Narita dan Yuki Nakamura, mereka penggiat skena alternatif di Tokyo. Setelah banyak mengobrol, sekitar jam 1 pagi, saya bersama Kei dan Yuki berjalan kaki ke Keputran, nyari bakso (mereka ketagihan bakso saat mencobanya di Yogyakarta) sekalian ngajakin mereka merasakan keriuhan Pasar Keputran. Setelah melalui trotoar sepanjang Jalan Dr Soetomo yang membahayakan, kami menjejak trotoar Jalan Raya Darmo yang lebar dan aman, udara cukup sejuk, sejumlah kendaraan masih lalu lalang, memasuki Jalan Pandegiling yang sudah dipenuhi oleh mobil pick-up dengan tumpukan sayur mayur. Selamat datang di Keputran, bau segar sayur dan buah menyertai kami. Yuki dan Kei girang melihat lapak lapak penuh sayur dan umbi umbian, Yuki berhasil menemukan petai (sebelumnya Kat menunjukkan imaji petai yang membuat kentut bau, karena Yuki bikin zine soal kentut). Masuk melalui mulut Jalan Keputran, memamerkan sejumlah rumah kolonial yang masih terawat, deretan lapak buah dan sayur yang dijaga oleh perempuan Madura, ini jalan favorit saya di kala malam, meriah.

Mengajak mereka masuk ke Pasar Keputran Utara (ada dua bangunan pasar : Keputran Utara dan Keputran Selatan), memberitahukan untuk menyiapkan hidung karena aroma bawang dan cabai yang menusuk, dan mata karena kami akan diberkati visual yang menyala. Buruh angkut lalu lalang, bersama pengunjung lainnya (hanya kami bertiga yang turis) menjelajahi gang gang antar-stand, bertatap muka dengan para penjual yang tersenyum ke kami karena kami turis yang nyasar ke pasar, menginjak tumpukan sayur yang sudah tidak bernilai ekonomis, merekam suara musik dangdut yang berkibar di lantai dasar, terpukau dengan tumpukan wortel, brokoli, bawang bombay, cabai merah, daun bawang menciptakan komposisi warna yang meriah, mulai ketagihan dengan bau sayur mayur, terhanyut oleh motif batik Madura yang dipakai oleh kaum perempuan yang mendominasi kegiatan di pasar, terbuai dengan percakapan berbahasa Madura.

Tidak puas dengan keriuhan di dalam bangunan, kami menelusuri lapak lapak di sepanjang Jalan Keputran yang melebar ke Jalan Kayoon, saling menunjuk sayuran yang segar dan bentuknya memukau, menunjukkan rupa singkong karena Yuki suka dengan keripik singkong. Melihat terpukau lapak tempe dan tahu yang juga adalah kesukaan kami, yah pasar ini memang menyenangkan bagi vegetarian. Ternyata di depan bangunan pasar, ada ruang bagi para pedagang ikan dan daging sapi, tidak terlalu besar, tapi baru liat aja. Kami mampir ke taman Kalimas, yang memang mepet dengan Pasar Keputran, taman cantik dengan pemandangan Kalimas–sungai penting era Majapahit hingga tahun 30an–dan apartemen pertama di Surabaya yang berada di Jalan Irian Barat. Saya berbagi isu mengenai relokasi Pasar Keputran Utara yang bisa dibilang sebagai pasar induk Surabaya ke wilayah pinggiran kota, mengingat lokasi Keputran adalah di pusat kota, dan terlihat akan dibangun semacam pusat perbelanjaan modern disamping Pasar Keputran Utara, dan sepertinya masih terjadi penolakan atas rencana relokasi.

Saatnya nge-bakso, kami menemukan satu satunya gerobak bakso di Jalan Keputran, mengokupasi trotoar seperti pedagang lainnya. Pemilik gerobak bakso bernama Heri, dia sudah berjualan bakso sejak tahun 80an, berdomisili di Texas alias Gang Dolly. Yuki dan Kei memesan porsi lengkap (bakso kasar dan halus, tahu, bihun, gorengan, lontong), saya pesan tanpa bakso tapi pakai kuah daging (dasar saya vegetarian palsu). Dengan sigap, Heri meracik pesanan kami, sambil sedikit berbahasa Inggris, maklum ada turis yang menyambangi gerobaknya. Heri meyakinkan kami bahwa bakso nya tanpa borax, selalu memakai daging segar, tampaknya Yuki dan Kei tidak mempermasalahkan makanan kaki lima, di Tokyo gerobak semacam bakso adalah jarang, jadi meeker senang dengan kedai bakso di jalanan Surabaya dan Yogyakarta. Satu yang lucu adalah bakso yang umum dijual di Indonesia adalah olahan daging sapi, padahal bak sendiri artinya daging babi. Kei dan Yuki tampak kekenyangan karena diberi porsi yang besar, saya juga ikutan lega karena memang sejak tadi kelaparan.

Berjalan kaki kembali ke peraduan, c2o library. Melewati perempuan perempuan Madura yang tertidur di belakang lapak menunggu pembeli yang belum datang, memandang kembali sejumlah bangunan kolonial, mengintip beberapa gang yang sepi, kembali ke Jalan Pandegiling. Saya memamerkan hotel Olympic–hotel pertama di Surabaya yang diresmikan oleh Soekarno–dengan arsitektur jengki, bangunan hotel bagaikan buritan kapal, sangat menarik. Yuki merekam lalu lintas di Jalan Raya Darmo, sejumlah peseda malam melintas, sepeda motor dengan bak penuh dengan sayuran mewarnai jalanan, sudah merindukan keriuhan Keputran.

Afika


Afika - Rendy Hendrawan

“Halo Om Kribo, namaku Afika! Eh jangan kira namaku itu korban iklan lho ya… Meskipun bener hehe…

Eh om,aku sudah biasa sama bau pasar, sama ramenya pasar, sama suasananya pasar. Setiap malem Afika pasti nemenin ibu jagain lapak jeruk pecel dan jeruk nipis.”

 

Ibumu mana Afika? Kok kamu kecil-kecil sudah jualan sih?


“Itu ibu ada di belakangku om. Nanti kalo sudah gede Afika mau jadi kayak ibu saja. Jualan sayur mayur biar ibu-ibu yang lain bisa masak yang enak buat anak-anaknya…”

Organik

Mosaik Sayur - Rendy Hendrawan

Kurang lebih seperlima lahan Kampung Keputran adalah pasar sayur terbesar di Surabaya. Pasar menjadi semacam apartemen bagi para pedagang. Bagaimana tidak, mereka hampir menghabiskan setiap harinya untuk berada di pasar. Sang juragan selalu setia menjaga gerainya.

Saya tak menyangka bisa menemukan sayuran ala Eropa dan seperti brokoli atau paprika di pasar tradisional ini. Karena saya tidak pernah menemukan makanan lokal dengan menggunakan dua bahan ini.

Menurut seorang kawan, Muhammad Fathony, ada fakta bahwa para pedagang memasang harga tinggi ketika sayuran baru datang. Masih fresh. Sayuran segar kualitas nomor wahid seperti ini menjadi incaran katering kelas atas dan hotel berbintang sekelas JW Marriot, Shangrilla, dan Sheraton. Hal ini yang membuat para penjual berani memasang harga yang lebih mahal dari biasanya.

Saya membuat kolase ini atas inspirasi dari seorang arsitek senior, Achmad Tardiyana, yang membuat hal serupa saat mengunjungi pasar tradisional di Barcelona. Rasanya, saya juga bisa membuat lukisan organik warna-warni seperti itu dari Pasar Keputran.

Indis

Old Building - Rendy Hendrawan

Di koridor utama Jalan Keputran, saya menemukan bangunan tua yang cukup cantik. Insting saya sebagai arsitek penggila bangunan tua mengatakan bahwa inilah bangunan tertua di sepanjang Jalan Keputran. Plafond kayunya terlihat begitu menonjol. Tapi sayang sekali kondisinya sangat kusam seolah tak terawat. Tapi justru kesan rustic ini menurut saya malah menambah keagungan bangunan ini.

Sepanjang pengetahuan saya, rumah ini menganut gaya arsitektur Indis (Hindia Belanda) dengan paduan arsitektur jawa. Perkawinan itu terlihat jelas dari penggunaan material kayu. Dengan stilistika atau ornamen khas Jawa, hal ini menunjukan bahwa bangunan kolonial pun bisa merespon citarasa Nusantara. Arsitektur Indis banyak mengadopsi prinsip bangunan tropis dan budaya Nusantara.

Saya jadi teringat ketika menyusuri jalanan kota Haarlem di Belanda, saya menemukan beberapa rumah seperti ini tapi dengan kondisi yang masih ciamik. Salah satunya memajang papan nama bertuliskan “Kalisari”.

Granat

10 Nov 1969 - Rendy Hendrawan

Tanggal 10 November 1969 adalah hari nahas. Pada hari itu terjadi peledakan granat oleh oknum misterius bertepatan dengan peresmian jalan kembar Urip Sumoharjo.

Dahulu, ruas jalan Urip Sumoharjo adalah jalur trem yang memanjang dari Wonokromo hingga Jembatan Merah. Namun lambat laun moda transportasi trem dianggap tidak lagi efektif dalam menampung daya tumbuh kota yang semakin pesat. Akhirnya pemerintah menutup jalur trem di Urip Sumoharjo dan mengubahnya menjadi jalan protokol kembar yang diaspal hotmix.

Peresmian jalan baru ini jatuh tepat pada peringatan Hari Pahlawan tahun 1969. Untuk itu sebuah festival musik yang meriah pun dirancang. Warga Kampung Keputran mengundang Akibuana Band, sedangkan Kampung Kejambon mengundang supergroup metal qasidah AKA Band. Hiburan gratis ini efektif mengajak masyarakat sekitar untuk meramaikan acara.

Di tengah-tengah performa Akibuana Band, terjadi ledakan beberapa granat di lokasi konser. Serentak warga kocar-kacir, lari lintang pukang menyelamatkan diri. Insiden ini memakan korban tujuh orang meninggal dunia (termasuk gitaris Akibuana Band) dan 54 orang luka. Jauh lebih banyak daripada insiden rusuhnya konser Sepultura di Tambaksari pada tahun 1992. Pak Asmari, seorang narasumber kami juga merupakan korban insiden granat 1969 ini. “Setiap korban diberi insentif biaya perawatan oleh Pemkot. Saat itu walikotanya Pak Sukoco,” kata Pak Asmari.

Pak Joko, tetua Kampung Keputran mengatakan bahwa sebelum kejadian nahas tersebut ada satu petanda yang luput dicermati,”Untuk memperingati Hari Pahlawan, kampung kami membuat patung seorang figur pejuang berukuran raksasa. Tangannya memegang granat, tapi terus-terusan jatuh…” Ironis.

Warteg

Warung Tegal Bu Lilik - Rendy Hendrawan

Waktu makan malam tiba. Menyusuri Kampung Keputran yang luas membuat saya dan Nafis menjadi lapar berat! Akhirnya kami memutuskan untuk mampir di Warteg Bu Lilik yang tersohor itu. Warung ini terletak di  pintu masuk Keputran gang 5 -yang termasuk paling sedikit penduduknya, karena setengah bagiannya ditutup oleh lahan sengketa.

Entah mengapa kami memutuskan untuk pesan nasi rawon disana. Barangkali agar terasa seperti turis yang pertama kali pelesir ke Kota Surabaya dan belum pernah makan rawon. Hehehe.

Di samping Warteg terdapat warung unik bernama “Pinggir Pantai” dan tidak menjual minuman selain es degan! Teman kami, Faisal Rizaldy mengatakan bahwa es degan paling enak itu bisa di dapat pada warung yang hanya menjual es degan saja, tidak yang lain. Karena penjual berdedikasi seperti itu pasti ahli. Tahu mana buah kelapa yang enak dan yang tidak.

Saat kami sruput, memang ternyata es degan “Pinggir Pantai” sangatlah juara! Membawa kami berfantasi sedang di pinggir pantai Gili Trawangan atau Miami. Angin sepoi-sepoi. Padahal itu adalah angin dari mobil dan kendaraan yang melintas di Jalan Urip Sumoharjo.

Rawon Bu Lilik sendiri juga enak. Daging empal gorengnya terasa crunchy dan tidak alot. Bumbu kluweknya begitu mendominasi. Ditambah dengan taste sambal bajak terasi sebagai pelengkap. Sambal berwarna hitam legam ini menjadi bumbu yang sangat nendang! Rasakan sendiri saat susur Keputran!

Al-Mubarok

Masjid Keputran - Rendy Hendrawan Masjid Keputran from Above

Melalui Google Maps, Kampung Keputran adalah sekumpulan bangunan dengan pola berbentuk grid atau jaring kotak-kotak yang tertata. Tetapi akan kita temui satu bangunan yang orientasinya berbeda, membujur miring tidak mengikuti pola dan arah bangunan lain. Orientasinya mengacu ke sudut barat-laut, yakni arah kiblat. Itulah Masjid Al-Mubarok di Keputran gang 6.

Masjid dengan menara setinggi kurang lebih 30 meter ini dibangun pada tahun 1943 dan kemudian direnovasi pada awal tahun 2000. Bangunan ini masih menggunakan struktur atap kayu seperti masjid ampel, dan di dalamnya terdapat makam salah satu tokoh agama Kampung Keputran, yaitu K.H. Arjo Ustman.

Konon masjid yang menjadi masjid utama warga Keputran dan sekitarnya (Kampung Keputran, Keputran Kejambon, Keputran Pasar Kecil,hingga Rusun Urip Sumoharjo) ini sudah berpindah tempat sebanyak empat kali sejak pertama kali dibangun. Sempat berlokasi di pinggir jalan Urip Sumoharjo, lalu dipindah ke kampung terbesar, hingga akhirnya ditempatkan di Keputran gang 6 karena dinilai banyak tokoh agama yang tinggal di gang itu seperti K.H. Arjo Utsman dan K.H. Usman Romli.

Toponimi

Toponimi - Rendy Hendrawan

Toponimi atau penamaan sebuah tempat, seringkali erat kaitannya dengan sejarah. Dalam buku “Asal Usul Nama Tempat di Jakarta” terbitan Komunitas Bambu misalnya, membahas berbagai nama tempat dan sejarah di balik penamaannya. Sayangnya belum ada buku seperti itu tentang Surabaya. Sehingga kami agak kesulitan menelusuri asal muasal nama Keputran.

Nama Keputran sendiri terbelah dua versi. Pemerintah menuliskannya “Keputeran” dengan ‘e’, sedangkan sebagian besar warga justru lebih familiar dengan “Keputran” saja sama seperti database Google Maps. Lalu mana yang benar?

Syahdan, Kampung Keputran sendiri adalah tempat tinggal bangsawan Kraton Surabaya pada 1906. Meskipun hal ini perlu diverifikasi lagi kebenarannya, dan Pramoedya tidak pernah menyebut kraton ini dalam karya tetraloginya. Meski begitu memang banyak orang percaya bahwa kata Keputran berasal dari kata “keputren” merujuk pada satu wilayah untuk kaum hawa di dalam kraton.

Pintu

Doors - Rendy Hendrawan

Pintu adalah sebuah ucapan selamat datang. Mengundang siapa saja untuk mampir, atau beberapa pintu justru mengusir dengan tulisan yang terpampang jelas: awas anjing galak! Orang Tionghoa percaya bahwa letak sebuah pintu bisa mempengaruhi rejeki untuk datang. Letak pintu yang salah bisa membuat rejeki enggan mampir. Disadari atau tidak, pintu mencerminkan siapa penghuni di dalam sebuah rumah.

Begitu juga dengan pintu-pintu di Kampung Keputran yang mencerminkan pluralitas penduduk di dalamnya. Ada yang berwarna cerah, ada juga yang berwarna tanah. Ada yang terpisah kiri-kanan, ada pula yang terbelah atas-bawah. Masing-masing merefleksikan selera pemiliknya. Tapi saya jadikan kolase dengan semangat bhinneka tunggal ika.

Saya jadi teringat dengan proyek yang dilakukan arsitek Andra Matin yang mampu mengumpulkan 6000 buah jendela Madura untuk menghias Potheads Cafe di Seminyak, Bali. Warna-warni.