Suro-boyo

Herajeng Gustiayu menuliskan sebuah catatan mengenai patung Suro dan boyo -lambang kota Surabaya- di majalah online Travelist. Tampaknya selama residensi Ajeng memiliki perhatian mendalam pada landmark Surabaya yang berupa ikan dan krokodil ini. Tulisan Ajeng menitikberatkan pada hubungan antara folklore sebuah kota dan identitas penduduknya. Ajeng mengemukakan tiga cerita rakyat yang berhubungan dengan lambang kota ini.

Pada akhir artikel, Ajeng menulis;

Mengkaitkan asal-usul nama Surabaya dengan karakter asli penduduk Surabaya (Jawa Timuran) yang relatif lebih keras, percaya diri, dan berani dibandingkan dengan penduduk Jawa lainnya nampaknya juga pas. Apalagi jika dikaitkan dengan karakter bonek yang terkenal beringas itu, di otak saya terbayang kembal pertempuran Suro dan Boyo membela kepercayaan masing-masing hingga titik darah penghabisan. Mungkin karena itu juga lah, simbol Suro dan Boyo diambil dengan bangga sebagai lambang Kota Surabaya.

Selesai Sudah!

Photo (c) Giri Prasetyo

Ngga terasa sih ya program Traveler in Residence periode pertama ini telah berakhir masa kontraknya. Tepat sebulan sejak kedatangan pertama Mbak Ajeng di Stasiun Pasar Turi Surabaya pada 5 Desember 2011 hingga berujung sekarang, 5 Januari 2012. Banyak hal yang bisa saya pelajari dari program singkat ini. Banyak juga yang perlu dikoreksi di dalamnya. Sebulan ternyata tak cukup untuk menghabiskan Surabaya dalam satu lahapan. Beberapa kendala seperti hujan yang turun teratur mampu mengubah satu dua itinerary yang disusun rapi sebelumnya.

Sebenarnya program ini sudah dibantu oleh beberapa pihak baik dari Hifatlobrain Travel Insititute sendiri maupun c2o Library, beserta teman-teman main kami di Surabaya. Tapi secara pribadi, saya sungkan meminta bantuan mereka untuk mengantar Ajeng berkeliling Surabaya. Hahaha! Terlebih ini hanyalah proyek pro bono. Makanya, saya sangat menghargai dan berterima kasih banyak pada teman-teman yang telah berinisiatif langsung menemani Ajeng ke beberapa destinasi di Surabaya. Saya pikir dengan mendapatkan guide yang berbeda, si traveler juga akan menerima pengalaman dan prespektif yang beragam pula tentang Surabaya.

Saya dan keluarga besar Hifatlobrain Travel Insitute, berterima kasih sekali pada kawan-kawan c2o Library, perpustakaan ciamik yang selalu membukakan pintu demi keberlangsungan program ini. Untuk Kathleen Azali, Anitha Silvia, Andriew Budiman, Ari Kurniawan, Mbak Yuli, dan pihak lain yang mungkin terlewat. Maaf kalau banyak merepotkan yaaa… Semoga bisa terus bekerja sama nantinya.

Buat Mbak Herajeng Gustiayu, maturnuwun sanget, sudah bersedia menjadi kelinci bagi proyek eksperimental ini. Mohon maaf kalau ada pelayanan yang kurang selama di Surabaya. Hahaha… Semoga ngga kapok kerja bareng lagi. Masih ada pameran yang menanti di bulan Maret yaaa, jangan sok lupa! :p

Terima kasih juga pada kalian yang masih mau membaca dan mengikuti update program Traveler in Residence ini. Segala kritik dan saran yang membangun maupun merubuhkan akan kami kunyah se-crunchy mungkin 🙂

Well, program Traveler in Residence belum benar-benar mencapai finish line. Itu sebabnya di awal paragraf tadi saya bilang ini sebagai Traveler in Residence periode pertama. Saya, kami, Hifatlobrain Travel Institute masih ingin melakukan berbagai macam residensi di tahun 2012 ataupun tahun mendatang. Dengan berbagai perbaikan dan pengembangan program-program kreatif lainnya. Bisa di Surabaya ataupun di kota lainnya. Monggo lho, kalau mau urun ide, kami akan sangat senang sekali. Ya, karena kami memang sekumpulan monster pelahap ide.

Oke deh, segitu aja uneg-uneg saya setelah mentraktir bubur ayam terakhir sebelum penerbangan Mbak Ajeng ke Jakarta siang ini. Mohon maaf lahir batin ya semuanya. Sekali lagi, kalau ada yang berminat kerja bareng dalam proyek residensi berikutnya, let me know! I want you lah pokokmen!

Kepala Program Traveler in Residence

Dwi Putri Ratnasari

note: PR kami selanjutnya adalah menyusun dummy book sebagai output dari Traveler in Residence ini dan menyiapkan pameran untuk bulan Maret 2012. Aye!

On C2O Newsletter

Potongan review Traveler In Residence di C2O Newsletter.

Banner cantik pembuka artikel buatan Kat.

Terimakasih untuk Kathleen Azali yang sudah mereview program Traveler In Residence ini di newsletter bulanan c2o Library yang ciamik itu. Kepada Kat juga kami haturkan terimakasih untuk desain banner yang cantik terpampang di website c2o.

Silahkan dapatkan newsletter pembuka tahun 2012 dari c2o Library di sini.

Rumah Abu Han Sketch

Rumah Abu Han, Jalan Karet 72 Surabaya

Ary Hartanto

Ary Hartanto adalah seorang arsitek gaul sekaligus moderator Forum National Geographic Indonesia di kala senggang. Kebetulan ia sedang mampir di Surabaya untuk menghabiskan jatah libur akhir tahun. Jadilah ia menjadi obyek untuk meramaikan kegiatan Traveler In Residence dengan cara sumbang karya. Ary, mengagumi kawasan kota tua Surabaya. Selama di Surabaya, Ary melakukan heritage trip dengan menyusuri kawasan Surabaya utara yang penuh dengan gedung peninggalan kolonial, kawasan pecinan, dan Kampung Ampel yang eksotis.

Rumah Abu Han, salah satu bangunan klasik di pecinan, segera menjadi obyek yang ia gambar. Kemampuan sketsa arsitekturalnya ia tumpahkan dengan metode quick sketching. Ia menarik garis bantu dengan pensil lantas menumpuknya dengan tinta Boxy yang lebih tegas. Simpel namun memiliki perspektif arsitektur yang begitu kentara.

“Sebetulnya aku lebih tertarik dengan lorong yang ada di samping Rumah Abu Han. Sebuah gang tua yang penuh lumut memancing rasa ingin tahuku; ada apa di ujung lorong sana? Karena biasanya kawasan pecinan dibangun dengan sistem berlapis,” kata Ary yang juga menggemari fotografi ini.

Ayos Purwoaji

Pegupon Study

Pegupon "Sume" di Stren Kali Jagir, Wonokromo

Sebagaimana diketahui bahwa program Traveler In Residence ini bersifat multirespon. Jadi siapapun yang ingin menggambar tentang Surabaya, silahkan di-submit untuk kami tampilkan dalam blog ini. Saya juga ingin turut andil. Sebagai seorang mahasiswa Desain Produk semester akhir (yang belum juga berakhir), Saya mencoba memanaskan suasana dengan turut menyumbang sketsa. Meskipun seganteng Primus Yustisio, namun kualitas sketsa saya berkualitas “ala kadar” saja. Tapi biarlah, yang penting semangatnya bukan?

Menurut Profesor Josef Prijotomo, guru besar Arsitektur ITS, pegupon (rumah burung dara yang terbuat dari kayu dan triplek) adalah bentuk arsitektur asli Surabaya. Entah benar atau tidak. Tapi memang fenomena pegupon ini memang masif dan bisa ditemui di mana pun di Surabaya.

Entah bagaimana awalnya desain pegupon sampai di Ujung Galuh (nama Surabaya pada zaman Majapahit). Bentuknya hampir seragam; terletak di atas wuwungan rumah atau di muka halaman, berbentuk seperti miniatur rumah dengan atau tanpa tingkat, dan biasanya berwarna ngejreng.

Saat berjalan-jalan di sepenjang stren Kali Jagir, saya banyak menemukan pegupon yang unik. Ada yang berwarna pink atau kuning menyala. Ada yang ditempeli stiker berbagai rupa. Ada pula yang berwarna biru dengan tulisan logo band Anthrax.

Satu yang menarik perhatian saya, yaitu sebuah pegupon bertuliskan SUME yang menjorok di bibir sungai. Saya nggak tahu apa arti ‘sume’, tapi kata Tinta, artinya adalah,”Tersenyum tapi nggak senyum…” Apakah Anda bisa memvisualisasikannya? Sume adalah pegupon bertipe mewah karena bertingkat dua. Saya mengira ada sekitar delapan ekor burung dara yang bisa tinggal dan menjalin kasih di dalamnya. Saya senang melihat beberapa burung dara bersliweran keluar masuk sume.

Berkat sume, saya jadi ingin mendokumentasikan berbagai bentuk pegupon di Surabaya yang tidak jarang berbentuk unik!

Ayos Purwoaji

Ajeng’s Workshop

Ajeng menggambar dilihat oleh Tinta. Sedangkan Putri sibuk mencoba menggores kuas mengikuti gaya Ajeng.

Selama beberapa hari ini Ajeng menggambar dengan mode kejar setoran. Jadilah ruang meeting perpustakaan c2o ia jadikan workshop. Ajeng merajai ruang ini. Andriew dan Kat terdesak! Hahaha. Ajeng memanfaatkan meja kaca di ruang meeting sebagai alas, lengkap dengan lampu tracing milik Kat yang dipinjamnya.

Melihat Ajeng asyik menggambar tampak enak juga. Sepertinya gampang saja menggoreskan kuas dengan tetesan cat air warna-warni itu di atas kertas. Srat sret srat sret jadilah sebuah gambar gedung yang manis dan artsy. Woho Putri pun jadi kepengen. “Mbak aku ajarin gambar pake cat air dong…” kata Putri merengek pada Ajeng. Menurut Ajeng, menggambar dengan cat air itu bisa jadi sebuah terapi stress yang menarik. Batin jadi tenang, pikiran jadi riang.

Akhirnya Putri mengambil beberapa sketsa awal milik Ajeng yang gagal, lalu disapunya dengan warna. Kualitas lukisan Putri janganlah dibandingkan, tapi ia cukup senang melakukannya. Segurat senyum berkembang di wajah Putri yang bulat. Tampaknya terapi stressnya bekerja dengan baik. Selamat tahun baru 2012 kawan 🙂

 

Trial Drawing

Gambar-gambar di atas merupakan hasil kontemplasi Ajeng setelah mengikuti Surabaya Heritage Track dari House of Sampoerna dan mengunjungi Kebun Binatang Surabaya.

Ajeng mencoba doodling ringan untuk melemaskan tangannya yang sudah mulai kaku. Dulu memang ia akrab dengan kuas dan cat air, namun karena tuntutan perut sebagai seorang freelance web designer, jemarinya sekarang lebih familiar dengan shortcut keyboard dan tablet. Jadi ya Ajeng menggambar beberapa obyek demi melumasi skill-nya kembali.

Beberapa hari ini Ajeng memang fokus menggambar dan makan saja. Hasilnya ciamso, ciamik soro bro! Semoga bisa secepatnya kami scan untuk ditampilkan dalam blog ini. Yeay!

Menuju Kediri

25 Desember 2011
Jam 3 sore, saya dan Ajeng cabut ke Stasiun Gubeng. Kereta telat datang, jam 4 baru kami berangkat. Ajeng belum pernah naik kereta ekonomi, jadi saya menceritakan keunikan kereta ekonomi; mulai dari para penumpang yang guyub, banyaknya penjual makanan/minuman, banyak pengamen dan pengemis. Saya menyukai suasana kereta ekonomi, tingkah para penumpang yang membuat saya selalu terheran, namun ada satu yang mengganggu, seorang pemuda menyalakan mp3 mengunakan HP dengan mode speaker on, dia tidak menggunakan earphone, memamerkan koleksi lagunya yang sepertinya banyak beredar di televisi, kalo itu kejadian di jakarta saya pasti protes ke dia dan menyuruh dia menggunakan earphone, tapi ini di Surabaya (Jawa) dimana individualisme masih asing.

Nyampe Kertosono-Nganjuk, terjadi kehebohan, kereta tidak bisa lanjut ke Kediri karena ada kereta barang yang anjlok, jadi para penumpang KA Rapih Dhoho dioper dengan bis, haduh kayak kejadian beberapa tahun lalu saat saya ke Bandung dan diturunkan di Stasiun Leles karena jalur rel kereta api terendam air (banjir) lalu pihak kereta api menyediakan bis menuju Bandung. Pihak kereta api Stasiun Kertosono hanya menyediakan 2 bis, jadi banyak penumpang yang berdiri, saya dan Ajeng sempit-sempitan berbagi kursi, 2 kursi untuk 3 orang. Saya cukup panik, takut kemalaman sampai di Kediri, ternyata perjalanan cukup lancar dan tiba di Stasiun Kediri pukul 19.30 sesuai jadwal.

Oke beberapa kejutan sudah kami lalui dengan hati lapang, selanjutnya kami berjalan kaki menuju halte bis, kami akan naik Bis Puspa Indah jurusan Malang, lokasi venue berada di luar kota, arah Gumul. ternyata di depan halte adalah Kediri Town Square yang dibuka pada bulan Agustus kemarin, wah Kediri emang kota terbesar ketiga di Jawa Timur setelah Surabaya dan Malang. Ada banyak pusat perbelanjaan disini : Dhoho Mall, Kediri Mall (Sri Ratu), Ramayana dan Robinson, dan yang terbaru: Kediri Town Square. Saya tidak yakin masyarakat Kediri membutuhkan banyak mall! Dan tidak lama kemudian minibis Puspa Indah datang, kami beruntung karena ini adalah bis terakhir, saya pun minta ke supir untuk menurunkan kami di Gang Katang Ketoprak sesuai dengan petunjuk dari Ajeng Resista. Kami diturunkan di Gang Ketoprak, tapi saya bingung gak ada tulisan Gang Ketoprak, adanya Jalan Erlangga, tapi kemudian saya yakin berada di jalan yang tepat, segerombolan anak muda naik motor dengan bersepatu Vans, wah mereka pasti juga datang ke gig. Kami masuk ke gang dan menemukan venue “Katang Studio 35” dengan mudah! Cukup terkejut dengan kehadiran ladang jagung dan cabe disekitar venue, dan ramai sekali disana, saya pun mengirim SMS pada Ajeng Resista mengabarkan saya sudah tiba di venue!

Beberapa detik kemudian Ajeng Resista menyapa saya, saya gak tau wajah Ajeng Resista begitu juga sebaliknya, tapi sepertinya mudah menemukan saya karena hampir semua pengunjung adalah pria, yang perempuan hanya kami dan beberapa anggota rombongan tur. Kami pun langsung ngobrol banyak, ternyata Ajeng adalah mahasiswa semester 5 Universitas Negeri Malang jurusan Sastra Indonesia, dan rumah orangtuanya di Kecamatan Semen dekat dengan Gereja Poh Sarang. Kami bertukar cerita mengenai kawan-kawan sesama zine maker: Milla, Ika Pepi, Aldiman Sinaga. Saya juga sharing mengenai Project Indonesia Zine Mapping, di Jawa Timur baru terdeteksi Kota Surabaya, Jember, Malang, Blitar, dan Kediri. Ajeng juga mengenalkan pacarnya, namanya Helmi, dan ternyata Helmi yang mengorganisir tur Milisi Kecoa di Kediri, wah kejutan yang menyenangkan. Gig malam ini sangat ramai dengan venue yang oke, di areal Katang Studio juga ada warung dengan space yang luas dan tidak mengganggu masyarakat sekitar karena dikeliling ladang jagung dan cabe. Ruang pertunjukkan sebenernya adalah sebuah rental Playstation berukuran sekitar 5x4meter, tanpa jendela, hanya pintu sebagai sirkulasi udara, mereka menyewa ruang tersebut 50k per jam termasuk sewa alat, jadi termasuk murah, 4 jam hanya 200ribu, dan ini adalah venue satu-satunya di Kediri yang sering dipakai oleh mereka.

Saya pun masuk ke ruang pertunjukkan, buset seperti pertunjukkan HC/punk umumnya, band dengan crowd tanpa batas, moshpit terus menyala, saya mencari spot yang lumayan aman untuk mengambil gambar, tapi sangat susah mengambil gambar saat crowd menggila, sing along, diving, dan menari! Kepala saya pun beberapa kali terbentur tembok dan tubuh saling berbenturan dengan orang lain, yah iyalah saya berada di moshpit! saat itu Seized yang tampil, bandnya Helmi. Seized selesai, crowd pun berhamburan keluar ruangan, berusaha mengambil oksigen, karena di dalam ruang sangat panas dan minim oksigen, keringat menguasai tubuh para pengunjung termasuk saya, tapi saya sangat merasa senang, hati saya terobati karena semalam saya bermasalah dengan sebuah band punk Jakarta. Saya benar-benar menikmati pertunjukkan, anak-anak punk Kediri pun terlihat guyub dan menyenangkan. Ajeng Resista tidak masuk ke ruangan karena dia menjaga barang-barang rombongan tur, Ajeng pun hanya duduk di sebelah Ajeng Resista, tentu saja Ajeng tidak menikmati pertunjukkan, saya salah mengajak Ajeng, kesenangan saya malah menyengsarakannya. Ajeng marah ke saya, dia minta lain kali memberitahukan rencana perjalanan, dia tidak menyangka kami menjadi seperti kaum hippies, tidak ada kejelasan tempat menginap dan transportasi, menumpang sana-sini. Sepanjang malam, Ajeng memilih diam dan pasrah apapun keputusan saya.

Kotak donasi diedarkan, band-band yang tampil menyerahkan sejumlah uang ke Helmi untuk membayar venue dan alat, uang hasil donasi menjadi tambahan untuk menutup biaya produksi gig ini, saya terharu melihatnya, saya sangat setuju dengan gig kolektif, do it with your friends! Saya kembali masuk ruang pertunjukkan saat Speedy Gonzalez beraksi, crowd lanjut menggila, saya baru sadar lensa kamera berembun karena pengapnya udara, tidak bisa lanjut mengambil gambar, yang penting saya bisa menikmati pertunjukkan! Speedy Gonzalez menyelesaikan set mereka, crowd lalu berhamburan keluar ruangan, kembali menghirup dalam-dalam udara segar, haha bisa-bisa badan saya makin kurus karena keringat dengan mudah tercipta, sauna di dalam ruangan. Selanjutnya adalah penampilan puncak: Milisi Kecoa. Spanduk dengan logo Milisi Kecoa dipasang di tembok, para personel Milisi Kecoa: Dhani, menyiapkan alat dan sound. Saya mengambil gambar mereka saat persiapan karena akan sangat susah mengambil gambar saat mereka bermain.

Sembari Milisi Kecoa menyiapkan alat, mereka memutar mp3 lagu SKJ, beberapa orang melakukan gerakan-gerakan SKJ, haha jadi pendinginan karena sepanjang pertunjukkan kami kepanasan. Dan tidak lama Milisi Kecoa melontarkan track pertama, saya tidak tahu judulnya, saya tidak punya mp3 atau CD mereka, pastinya crowd menyambut dengan gembira, menyanyi bersama, dorong mendorong, diving, crowd tetap semangat sampai track terakhir, saya dan crowd sangat puas, meskipun sang drummer bilang mereka tidak bermain maksimal karena masih terasa lelah akibat perjalanan yang panjang dengan beberapa hambatan dari Jember. Salah satu anggota rombongan tur bilang kalo pertunjukkan Milisi Kecoa malam ini adalah yang tergila diantara kota-kota yang dilalui tur sejauh ini. Saya pun menganggap gig malam ini adalah salah satu gig terbaik yang pernah saya nikmati seumur hidup! List performer yang memukau, venue yang ajaib, dan pihak penyelenggara yang mantap!

Selesai pertunjukkan, kami bersantai menghirup oksigen dan mengeringkan keringat, Helmi dan kawan-kawan membereskan ruang pertunjukkan, Ajeng Resista menawarkan kami menginap bersama rombongan, saya langsung mengiyakan tawarannya, saya memang beruntung hari ini, kesialan langsung sirna. Sebenernya Ajeng Resista pengen sekali mengajak kami menginap di rumahnya di Poh Sarang, rumahnya dekat dengan Gereja Poh Sarang, tapi Ajeng dalam posisi sedang kabur dari rumah, dia bilang ke orangtuanya masih di Malang, jadi orangtuanya tidak tahu kalo Ajeng di Kediri hari ini, dia dan Helmi akan ikut rombongan Milisi Kecoa ke Solo besok, kalo Ajeng pulang ke rumah dia tidak akan dapat ijin ke Solo.

Lalu kami menuju rumah salah satu personel Seized yang berada di dekat venue, anak-anak parkir mobil dan motor disana, sekalian istirahat bentar. 10 menit kemudian kami menuju penginapan yang merupakan rumah seorang  kawan Helmi bernama Andre di Jalan Kilisuci. Andre masih duduk di bangku SMA, sesuai dengan tampangnya yang cute. Saya membonceng motor kawannya Helmi, 2 orang dari Kota Malang yang sengaja datang untuk melihat gig, jadi kami cenglu (bonceng telu—bonceng bertiga), payahnya saya lupa namanya, mereka kenal dengan Zen dan Reza, kami jadi langsung akrab ngobrol. Ajeng juga cenglu sama Ajeng Resista dan Helmi, aduh saya terharu dengan kebaikan mereka, padahal kami baru saling mengenal. Kami mampir ke warung pecel tumpang di depan SMP 3, mereka kelaparan, Ajeng pun ikut membeli nasi pecel, saya kurang berminat makan.

Setelah semua perut kenyang, kami lanjut ke penginapan, disana ada mobil Fiat dengan gantungan kepala Santa Claus di kaca mobil. Rumah keluarga Andre adalah ruko, lantai dasar adalah toko handphone, Andre telah menyiapkan 2 kamar dan 1 ruang keluarga sebagai tempat tidur kami, sedangkan Andre dan teman-temannya tidur di ruang TV lantai dasar. Saya mengucapkan sampai jumpa ke Ajeng Resista, sangat berterimakasih atas bantuan dia dan Helmi, mereka pulang, saya dan Ajeng ke atas untuk segera tidur, kami menempati salah satu kamar bersama para personel Harda Tider dari Swedia, kami hanya saling tersenyum tapi tidak saling mengenal, Ajeng langsung tertidur, saya belum bisa tidur, saya membaca buku “Garis Batas” karangan Agustinus Wibowo. Bacaan yang tepat saat melakukan perjalanan sebagai seorang musafir, keberuntungan dan kesialan datang silih berganti dan tidak terduga, saya memang suka kejutan! Di ruang tengah, beberapa anggota tur merayakan Natal dengan alkohol sambil menyanyikan lagu-lagu rakyat Swedia, saya pun tertidur.

26 Desember 2011
Kami bangun sebelum alarm berbunyi, jam 6 pagi, sinar matahari masuk ke kamar, kami cukup tidur nyenyak semalam, saya langsung mandi, segar sekali setelah mandi, gantian Ajeng yang mandi, semua anggota rombongan tur masih tertidur, saya ke beranda, dan wah pemandangan yang indah, tampak Gunung Klotok yang hijau karena sekarang musim hujan, udara pun cukup sejuk. Kami sudah siap cabut menuju Stasiun Kediri, saya putuskan kami tidak jadi ke Gereja Poh Sarang, Ajeng terlihat tidak bersemangat untuk melakukan perjalanan, masih marah dengan tindakan saya. Andre masih tidur, akhirnya mamanya yang membukakan pintu, kami pamit dan mengucapkan terimakasih sudah boleh menginap.

Kami berjalan kaki melewati Jalan Kilisuci, Jalan Joyoboyo, Jalan Hayam Wuruk dan belok kiri masuk gang kecil yang bertuliskan “Stasiun Kediri 200 meter”. Jam 8 pagi kami sampai di stasiun kediri, kami mendapatkan tiket KA Rapih Dhoho pukul 11.55, jalur rel kereta yang anjlok sudah diperbaiki, jadi kami bisa pulang ke surabaya naik kereta, malas sekali jika naik bis karena lebih lama dan lebih mahal. Kami istirahat dulu di stasiun sambil sarapan roti keju, lalu saya memilih tidur dan bangun jam setengah 10, lumayan banget karena perjalanan ke surabaya cukup panjang. Kami berjalan kaki keliling pusat kota, mulai dari Jalan Dhoho lalu ke Jalan Yos Sudarso, berkunjung ke Klenteng Tri Dharma Tjoe Hwie Kiong, di sana sedang dibangun beberapa bagian di dalam klenteng, klenteng yang indah tepat berada di samping Sungai Brantas.

Lanjut berjalan kaki ke Jalan Sudirman, menuju alun-alun, istirahat bentar di alun-alun melihat anak-anak kecil asjik memanjat pohon, lalu kami ke Giant Hypermart di Dhoho Plaza, tepat di sebelah alun-alun, Ajeng membeli 2 botol air mineral dan snack, lalu kami kembali ke stasiun, tidak jadi mengajak Ajeng ke jembatan Sungai Brantas yang sudah di depan mata, Ajeng masih terlihat marah, saya berharap menemukan penjual lontong tahu atau kupat tahu atau masakan dengan tahu, Kediri kan kota tahu, tapi kami tidak menemukannya. Kereta Rapih Dhoho tujuan Surabaya baru datang jam satu siang, telat sejam, kami beruntung mendapatkan tempat duduk, karena banyak juga yang berdiri. Sampai di Jombang hujan deras, karena kami duduk di dekat jendela yang kacanya sudah raib, saya pun kehujanan, yah ginilah nasib naik kereta ekonomi. Nyampe Surabaya pun hujan, kami sudah sedia payung, sebelum pulang ke kost saya menemani Ajeng makan rawon, dia kelaparan, saya hanya makan pisang, saya sudah berniat membuat teh susu di kost. []

Anitha Silvia

Kendali Sendiri

Ajeng berfoto dengan Remi dan Opet setelah acara “Kendali Sendiri”

Atas ajakan Tinta, Ajeng akhirnya mendatangi sebuah gigs underground berjudul “Kendali Sendiri”. Ini adalah sebuah acara musik kecil yang oleh Tinta dan Opet secara swadaya. Acara berlangsung sukses dan meriah. “Ini pertama kalinya aku nonton gigs…” kata Ajeng.

Semua foto diambil oleh Anitha Silvia.